1 HARI UNTUK 1000 KEBAHAGIAAN
Panas matahari siang ini sebenarnya bisa membuat cucian basah di jemuran menjadi kering dalam sekejap, tapi Pak Arnold tetap tak mau memberi keringanan hukuman padaku dan kedua sahabatku.
“Shannon Grayce!! Tetap berdiri disitu. Jangan manja!” Sahut Pak Arnold ketika aku mencoba bertukar posisi dengan Helen untuk menghindari sengatan matahari.
“Tapi pak, kita capek berdiri disini. Matahari sudah diatas kepala. Nanti kalau kulit kami gosong gimana? Memang bapak bisa membayar perawatan kami di salon mahal?” Sahutku
“SHANNON !! Hukuman kamu bertambah sampai jam pulang sekolah selesai, setelah itu bersihkan kamar mandi dekat perpustakaan. Jangan membantah lagi atau orang tuamu saya panggil menghadap guru BK.” Balas Pak Arnold dengan nada meninggi
Dua jam kemudian bel pulang sekolah berbunyi, kakiku serasa mati. Tapi hukuman ini masih harus ditambah lagi membersihkan kamar mandi dengan bau dan pemandangan mengerikan didepan mataku. Pak Arnold memang keterlaluan, kuku dan kulitku bisa rusak seketika setelah menjalankan hukuman itu. Helen dan Stef malah asyik nongkrong di kantin. Mereka tidak akan mau membantuku, mereka tidak akan rela perawatan mahalnya dirusak dengan “polusi kamar mandi”.
1 Hari Untuk 1000 Kebahagiaan
Aku berjalan melewati koridor menuju kelas XI IPA 5 untuk membereskan tas dan bukuku. Tiba-tiba seseorang menabrakku, gadis berparas cantik , anggun, pandai dan menjadi kebanggaan semua guru di sekolah ini. Tapi tidak untukku, dia adalah gadis yang paling menyebalkan diseluruh dunia dan selalu merebut apapun yang kuinginkan. Sebut saja namanya Denia, gadis asli Jawa dengan lesung pipit di pipi kiri dan kanannya.
“Eh maaf Sha, aku nggak sengaja. Aku buru-buru nyusul kamu ke lapangan, aku takut kamu kenapa-kenapa. Ini aku bawain tas kamu” Celetuk Denia sambil menyodorkan tasku
“Puas kan kamu bisa balas aku? Seneng kan lihat aku dihukum? Eh denger ya Denia yang sok cantik dan sok pinter, aku pasti bales kamu. Camkan itu!”Sahutku sambil mendorong Denia hingga ia jatuh tersungkur.
Aku berlari cepat menuju kamar mandi dan meninggalkan Denia. Mungkin Denia tak mengerti mengapa aku sangat membencinya padahal ia baik padaku. Aku sendiri tak tahu mengapa aku sangat membencinya, mungkin aku iri padanya. Ah tidak! Aku jauh lebih cantik dan lebih kaya darinya. Apa yang Denia punya dan aku tidak punya?
Satu jam berlalu, selesai sudah hukuman Pak Arnold. Saatnya pulang. Pak Didi supir pribadi keluargaku sudah menunggu didepan gerbang dan siap mengantarku pulang.
Selang berapa menit sudah terlihat dari kejauhan rumah megah bak istana dengan dua pilar kokoh di depan pintu masuknya, halaman yang luas dengan dua kolam ikan beserta air mancurnya, juga atap menjulang tinggi ke atas langit. Aku masuk dalam rumah itu dan meletakkan tubuhku sejenak diatas sofa, tak kulihat seorangpun disana. Mungkin Mama dan Papa belum pulang dari Inggris, sedangkan Kakakku Sheila Grayce juga entah kemana , mungkin dia sibuk dengan Olimpiade Internasionalnya. Suasana rumah seperti ini sudah menjadi pemandanganku setiap hari. Hanya ditemani 3 asisten rumah tangga juga 2 supir. Mama dan Papa memang jarang pulang, sekalinya pulang mereka pasti membicarakan tentang Sheila yang selalu nampak sempurna dengan kepandaian dan kecantikannya dimata mereka.
Aku beranjak dari sofa kemudian menuju kamarku, membujurkan tubuhku yang masih dibalut seragam SMA. Aku merasa sangat lelah. Pikiranku tertuju pada langit-langit kamar dan entah terbang kemana. Hampir setiap hari aku mendapat hukuman dari para guru, entah itu karena membolos , membuat onar ataupun kesalahan lainnya. Tapi aku tak perduli, aku suka bolos sekolah untuk shopping bersama Helen dan Stef atau hanya untuk sekedar jalan-jalan. Mama dan Papa tak pernah menanyakan kabarku, yang mereka tau hanyalah uang yang mereka berikan padaku itu sudah lebih dari cukup. Aku larut dalam lamunanku dan kemudian terlelap.
Sampai tibalah pada suatu hari
Panas matahari siang ini sebenarnya bisa membuat cucian basah di jemuran menjadi kering dalam sekejap, tapi Pak Arnold tetap tak mau memberi keringanan hukuman padaku dan kedua sahabatku.
“Shannon Grayce!! Tetap berdiri disitu. Jangan manja!” Sahut Pak Arnold ketika aku mencoba bertukar posisi dengan Helen untuk menghindari sengatan matahari.
“Tapi pak, kita capek berdiri disini. Matahari sudah diatas kepala. Nanti kalau kulit kami gosong gimana? Memang bapak bisa membayar perawatan kami di salon mahal?” Sahutku
“SHANNON !! Hukuman kamu bertambah sampai jam pulang sekolah selesai, setelah itu bersihkan kamar mandi dekat perpustakaan. Jangan membantah lagi atau orang tuamu saya panggil menghadap guru BK.” Balas Pak Arnold dengan nada meninggi
Dua jam kemudian bel pulang sekolah berbunyi, kakiku serasa mati. Tapi hukuman ini masih harus ditambah lagi membersihkan kamar mandi dengan bau dan pemandangan mengerikan didepan mataku. Pak Arnold memang keterlaluan, kuku dan kulitku bisa rusak seketika setelah menjalankan hukuman itu. Helen dan Stef malah asyik nongkrong di kantin. Mereka tidak akan mau membantuku, mereka tidak akan rela perawatan mahalnya dirusak dengan “polusi kamar mandi”.
1 Hari Untuk 1000 Kebahagiaan
Aku berjalan melewati koridor menuju kelas XI IPA 5 untuk membereskan tas dan bukuku. Tiba-tiba seseorang menabrakku, gadis berparas cantik , anggun, pandai dan menjadi kebanggaan semua guru di sekolah ini. Tapi tidak untukku, dia adalah gadis yang paling menyebalkan diseluruh dunia dan selalu merebut apapun yang kuinginkan. Sebut saja namanya Denia, gadis asli Jawa dengan lesung pipit di pipi kiri dan kanannya.
“Eh maaf Sha, aku nggak sengaja. Aku buru-buru nyusul kamu ke lapangan, aku takut kamu kenapa-kenapa. Ini aku bawain tas kamu” Celetuk Denia sambil menyodorkan tasku
“Puas kan kamu bisa balas aku? Seneng kan lihat aku dihukum? Eh denger ya Denia yang sok cantik dan sok pinter, aku pasti bales kamu. Camkan itu!”Sahutku sambil mendorong Denia hingga ia jatuh tersungkur.
Aku berlari cepat menuju kamar mandi dan meninggalkan Denia. Mungkin Denia tak mengerti mengapa aku sangat membencinya padahal ia baik padaku. Aku sendiri tak tahu mengapa aku sangat membencinya, mungkin aku iri padanya. Ah tidak! Aku jauh lebih cantik dan lebih kaya darinya. Apa yang Denia punya dan aku tidak punya?
Satu jam berlalu, selesai sudah hukuman Pak Arnold. Saatnya pulang. Pak Didi supir pribadi keluargaku sudah menunggu didepan gerbang dan siap mengantarku pulang.
Selang berapa menit sudah terlihat dari kejauhan rumah megah bak istana dengan dua pilar kokoh di depan pintu masuknya, halaman yang luas dengan dua kolam ikan beserta air mancurnya, juga atap menjulang tinggi ke atas langit. Aku masuk dalam rumah itu dan meletakkan tubuhku sejenak diatas sofa, tak kulihat seorangpun disana. Mungkin Mama dan Papa belum pulang dari Inggris, sedangkan Kakakku Sheila Grayce juga entah kemana , mungkin dia sibuk dengan Olimpiade Internasionalnya. Suasana rumah seperti ini sudah menjadi pemandanganku setiap hari. Hanya ditemani 3 asisten rumah tangga juga 2 supir. Mama dan Papa memang jarang pulang, sekalinya pulang mereka pasti membicarakan tentang Sheila yang selalu nampak sempurna dengan kepandaian dan kecantikannya dimata mereka.
Aku beranjak dari sofa kemudian menuju kamarku, membujurkan tubuhku yang masih dibalut seragam SMA. Aku merasa sangat lelah. Pikiranku tertuju pada langit-langit kamar dan entah terbang kemana. Hampir setiap hari aku mendapat hukuman dari para guru, entah itu karena membolos , membuat onar ataupun kesalahan lainnya. Tapi aku tak perduli, aku suka bolos sekolah untuk shopping bersama Helen dan Stef atau hanya untuk sekedar jalan-jalan. Mama dan Papa tak pernah menanyakan kabarku, yang mereka tau hanyalah uang yang mereka berikan padaku itu sudah lebih dari cukup. Aku larut dalam lamunanku dan kemudian terlelap.
Sampai tibalah pada suatu hari
Comments
Post a Comment